Bau sampah mengalihkan perhatian kita dari racun-racun tersembunyi di dalam sampah
Manusia memang dianugerahi Panca Indera yang membantunya mendeteksi berbagai hal yang mengancam hidupnya. Namun di dalam dunia modern ini muncul berbagai bentuk ancaman yang tidak terdeteksi oleh panca indera kita, yaitu berbagai jenis racun yang dibuat oleh manusia sendiri.
Lebih dari 75.000 bahan kimia sintetis telah dihasilkan manusia dalam beberapa puluh tahun terakhir. Banyak darinya yang tidak berwarna, berasa dan berbau, namun potensial menimbulkan bahaya kesehatan. Sebagian besar dampak yang diakibatkannya memang berdampak jangka panjang, seperti kanker, kerusakan saraf, gangguan reproduksi dan lain-lain.
Sifat racun sintetis yang tidak berbau dan berwarna, dan dampak kesehatannya yang berjangka panjang, membuatnya lepas dari perhatian kita. Kita lebih risau dengan gangguan yang langsung bisa dirasakan oleh panca indera kita.
Hal ini terlebih dalam kasus sampah, di mana gangguan bau yang menusuk dan pemandangan (keindahan/kebersihan) sangat menarik perhatian panca indera kita. Begitu dominannya gangguan bau dan pemandangan dari sampah inilah yang telah mengalihkan kita dari bahaya racun dari sampah, yang lebih mengancam kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita.
Racun-racun dari sampah
Saat ini sampah telah banyak berubah. Setengah abad yang lalu masyarakat belum banyak mengenal plastik. Mereka lebih banyak menggunakan berbagai jenis bahan organis. Di masa kecil saya (awal dasawarsa 1980), orang masih menggunakan tas belanja dan membungkus daging dengan daun jati. Sedangkan sekarang kita berhadapan dengan sampah-sampah jenis baru, khususnya berbagai jenis plastik.
Sifat plastik dan bahan organis sangat berbeda. Bahan organis mengandung bahan-bahan alami yang bisa diuraikan oleh alam dengan berbagai cara, bahkan hasil penguraiannya berguna untuk berbagai aspek kehidupan.
Sampah plastik dibuat dari bahan sintetis, umumnya menggunakan minyak bumi sebagai bahan dasar, ditambah bahan-bahan tambahan yang umumnya merupakan logam berat (kadnium, timbal, nikel) atau bahan beracun lainnya seperti Chlor. Racun dari plastik ini terlepas pada saat terurai atau terbakar.
Penguraian plastik akan melepaskan berbagai jenis logam berat dan bahan kimia lain yang dikandungnya. Bahan kimia ini terlarut dalam air atau terikat di tanah, dan kemudian masuk ke tubuh kita melalui makanan dan minuman.
Sedangkan pembakaran plastik menghasilkan salah satu bahan paling berbahaya di dunia, yaitu Dioksin. Dioksin adalah salah satu dari sedikit bahan kimia yang telah diteliti secara intensif dan telah dipastikan menimbulkan Kanker. Bahaya dioksin sering disejajarkan dengan DDT, yang sekarang telah dilarang di seluruh dunia. Selain dioksin, abu hasil pembakaran juga berisi berbagai logam berat yang terkandung di dalam plastik.
‘Tertipu’ bau sampah
Bau khas sampah yang ‘mengudara’ di Kota Bandung dan lokasi yang dijadikan TPA tidak terjadi begitu saja. Bau yang kita cium berasal dari campuran berbagai bahan kimia seperti H2S, Amonia dan berbagai bentuk asam organis. Bahan-bahan berbau menyengat ini hanya dihasilkan oleh penguraian tanpa oksigen, yang sebenarnya tidak sulit dihindari dengan cara penanganan yang tepat.
Yang jarang dibahas selama ini adalah, bahan-bahan berbau menyengat ini jauh lebih tidak berbahaya dibandingkan berbagai jenis racun yang terkandung di dalam plastik. Kita selama ini telah tertipu oleh bau sampah, sehingga menjadi kurang memperhatikan racun-racun tersembunyi yang dampaknya berjangka panjang.
Keadaan tertipu bau sampah ini, begitu banyak kita temui dalam pemberitaan berbagai media massa. Misalnya, dalam Pikiran Rakyat edisi Minggu 28 Mei 2006, dimuat pernyataan Pak Dudung, warta kampung Sasaksaat, yang kawasannya baru menampung sampah kota Bandung. ”Pembuangan sampah mah tidak menolak, bade sabaraha lami oge. Sautamina Pak, kahoyong warga teh nyuhunkeun supados teu bau,” Penduduk Sasaksaat belum menyadari bahwa bahaya paling besar dari sampah yang dibuang ke tempat mereka sebenarnya adalah racun yang akan masuk ke sumur-sumur mereka.
Yang tertipu bau sampah ini bukan hanya mereka yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Para pejabat dan banyak orang terdidik di kota Bandungpun mengalami hal yang sama.
Culture Shok Sampah
Walaupun sampah saat ini telah berubah, namun kita cenderung memperlakukan dan memahami sampah sebagaimana saat nenek moyang kita yang hidup hanya dengan bahan organis. Fenomena culture shock ini begitu banyak kita temui selama krisis sampah di kota Bandung.
Di awal krisis sampah, Walikota Bandung mengeluarkan himbauan pada warga untuk membantu pemerintah dengan mengubur sampah di halaman rumah sendiri. Mengubur sampah yang mengandung plastik adalah tindakan yang berbahaya. Pada saat dikubur sampah plastik akan terurai dan melepaskan berbagai racun yang dikandungnya.
Keinginan pemerintah untuk melalukan pemilahan sampah dan pembuatan kompos di TPA juga sama bahayanya. Sampah organis, bila mencapai TPA dalam keadaan tercampur plastik, kemungkinan besar telah mengandung berbagai racun dari plastik. Akibatnya, kompos yang dihasilkanpun adalah kompos beracun yang berbahaya bila digunakan sebagai pupuk tanaman pangan.
Hal diatas terkait juga dengan pemberitaan berbagai media tentang TPA di Semarang dan Surabaya yang dijadikan penggembalaan sapi. Karena sampah organis yang dimakan sapi tercampur dengan plastik, tentu daging yang dikandung oleh sapi terkontaminasi oleh berbagai racun dari plastik tersebut.
Baru-baru ini pemerintah menghimbau masyarakat untuk membakar sampah dalam tungku buatan sendiri. Sekali lagi tindakan ini berbahaya, karena pembakaran sampah yang mengandung plastik akan menghasilkan dioksin. Agar tidak menghasilkan dioksin, sampah plastik harus dibakar pada suhu setidaknya 1200 C. Tentu tungku buatan sendiri tidak akan mampu mencapai suhu tersebut.
Yang lebih memprihatinkan lagi, kemudian dinyatakan bahwa abu sisa pembakaran aman dan dapat dijadikan pupuk. Padahal, abu sisa pembakaran plastik mengandung berbagai jenis bahan beracun.
Saat ini kita tidak lagi dapat memahami persoalan sampah dengan common sense belaka. Racun yang tak berwarna, berasa dan berbau, hanya dapat dideteksi dan dipahami dampaknya dengan bantuan peralatan canggih. Kita pun perlu menjadi lebih canggih dengan memperlajari aspek-aspek ilmiah dari sampah. Tanpa itu, kita akan salah memahami sampah dan tentu salah bertindak.
Kesalahan pemahaman ini tentu berdampak lebih fatal saat para pejabat membuat pernyataan publik dan menerapkan kebijakan yang salah, sebagaimana diuraikan di atas. Kita menghimbau para pejabat untuk belajar tentang persoalan sampah yang sebenarnya atau menyerahkan persoalan ini kepada orang yang lebih kompeten.
Credit : TerraNet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar